Selasa, 21 Juni 2011

Mengapa Aku Harus Kehilangan ?

aku bangga mempunyai seorang sahabat sepertimu
seorang yang bercerita bersamaku suka dan duka
kita saling menghibur saat ada di antara kita yang bersedih
kita saling menguatkan saat ada di antara kita yang lemah
kita sama-sama memberikan teguran, nasihat, motivasi, dan masukan

aku sangat bangga memiliki seorang sahabat seperti kamu
banyak kesulitan kita selesaikan bersama
banyak kesenangan kita alami bersama
dan banyak kenangan telah dilukiskan di hati kita
senyummu,candamu,tawamu dan suaramu

namun karena suatu kejadian ... aku harus kehilangan 
tak kutemukan lagi senyummu di hari-hariku
tak kutemukan lagi penghiburan dan penguatan darimu
tak kutemukan lagi cerita-cerita yang kau bagikan kepadaku
aku terus menantikanmu, tetapi mungkin tak kunjung datang

Tuhan, mengapa aku harus kehilangan dia di hidupku ?

aku mencoba merenungkan apa yang aku alami
dan akhirnya aku menenemukan mengapa ini semua terjadi

ternyata Tuhan mau mengajarkanku sesuatu
Tuhan mengajarkanku untuk tidak bergantung kepada manusia
Tuhan mengajarkanku bagaimana hidupku harus bergantung kepadaNya
Tuhan mau aku belajar menjadikan Dia sebagai sahabatku
Tuhan mau aku belajar menanti-nantikan Dia
Tuhan mau aku belajar mengisi hari-hariku denganNya
Tuhan mau aku belajar setia kepadaNya dan FirmanNya

Dan akhirnya setelah kusadari itu semua
Tuhan memberikan sahabat-sahabat baru kepadaku

Namun, satu hal yang kuharapkan selalu 
semoga Tuhan selalu menjagai hidup Mu My best Friend

I miss u always 
meski hanya sesaat kurasa bahagia denganmu itu lebih dari 
20 tahun kurasakan sebelum kehadiranmu
meski hal itu sakit bagiku
tapi inilah pilihanmu
S U K S E S buat kamu,S T U D Y kamu and Your FamilY
GBU TO FOREVER
I MISS YOU
Baca Selengkapnya - Mengapa Aku Harus Kehilangan ?

My redeemer lives

dalam keheningan ... kekosongan ruang hatiku ... saat2 di mana jiwaku mulai mempertanyakan arti sebuah kesetian ... arti sebuah penantian ... arti sebuah kasih dan sayang ... saat2 di mana hidupku terpuruk dalam suatu situasi yg menghimpit ... resah dan gundah itu mulai datang ... jiwaku mulai berteriak dimanakah Tuhan ... hatiku remuk hancur ... yang tertinggal hanyalah perih dan mimpi akan masa depan yang bercahaya ...

saat ini ... jiwaku berada dalam satu titik yang terendah di dalam hidupku ...
di manakah Tuhan ... dimanakah pertolonganku ...

di saat-saat kesunyian jiwaku .... alunan nada mengalir ... dawai gitarpun berdentang ...

Who taught the sun where to stand in the morning?
and Who told the ocean you can only come this far?
and Who showed the moon where to hide 'til evening?
Whose words alone can catch a falling star?

benarkah .... siapakah yang melakan ini ....

Well I know my Redeemer lives
I know my Redeemer lives
All of creation testifies
This life within me cry
I know my Redeemer lives

saat seruanku mulai di jawab .... suara yang lembut itu ... bagaikan angin sejuk di dalam ke gerahan jiwaku .... seperti air menyirami tanah hatiku yang kering ...

The very same God that spins things in orbit
runs to the weary, the worn and the weak
And the same gentle hands that hold me when I'm broken
They conquered death to bring me victory

ohhh .... jiwaku mulai bersuka ... jiwaku mulai tenang ...
ku tau Dia yang sanggup memulihkan hidupku ...
Dia yang menciptakan alam semesta ini ... dengan tangannya yang berkuasa ... dia memegang hidupku saat ku hancur ... Trima kasih juru slamatku ...

ketika arti hidup mulai ku pertanyakan
ketika semua terlihat begitu mustahil
ketika keadilan mulai beranjak pergi ...
Dia ada ... Dia yang telah mengalahkan maut itu ada ...
Dia mengangkat segala bebanku ...
Dia menggantikan segala sesuatu menjadi indah ...
sebab rancanganNya adalah rancangan damai sejahtera
masa depan yang gilang - gemilang ....

dalam keterpurukanku ... ku sadari ...
bahwa hidup merupakan penantian ...
sebuah penantian akan penggenapan janjiNya
yang indah dalam hidupku .... AMIN
Baca Selengkapnya - My redeemer lives

Senin, 20 Juni 2011

I Cried For My Brother Six Times



Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan diriku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.


"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya.


Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"


Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.


Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"


Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"


Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.


Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.


Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.


Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya merengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"


Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."


Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan, saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"


Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."


Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.


Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).


Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"


Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?


Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"


Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"


Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."


Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."


Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.


Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"


Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."


Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya.
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."


Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.


Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Berkali-kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."


Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.


Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.


Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"


Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan menjadi buah bibir orang?"


Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"


Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."


Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."


Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih kepadanya adalah adikku."


Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

posting ini saya copas dari salah satu web yang saya lupa nama webnya , semoga bermanfaat buat kita semua...
Baca Selengkapnya - I Cried For My Brother Six Times

Rabu, 01 Juni 2011

Jika kukehilangan…ku tetap bersyukur


Hal yang paling berat dihadapi dalam kehidupan adalah hal kehilangan atau perpisahan, karena ada bagian yang terhempas atau sirna atau tak lagi ada di sisi.

Kehilangan bisa menjadi sebuah kesedihan, luka batin, kehampaan
Namun ada hal-hal yang bisa kita terima (hikmah) dari sebuah kehilangan

Jika aku kehilangan teman
Aku bersyukur karena teman yang terus ada bersamaku adalah teman yang terbaik dan selalu siap menolong, bahkan lebih dari sekedar teman melainkan keluarga.

Jika aku kehilangan pekerjaan
Aku bersyukur karena itu berarti ada pekerjaan yang lebih baik menantiku, tinggal bagianku adalah berusaha dan berdoa.

Jika aku kehilangan kekasih
Aku bersyukur karena kupercaya ada yang lebih baik darinya dan sedang dipersiapkan Tuhan untukku, walau untuk sesaat aku bersedih

Jika aku kehilangan pegangan
Aku bersyukur karena ada pegangan pengganti yang lebih kuat dan kokoh dari sebelumnya.

Jika aku kehilangan arah melangkah
Aku tetap bersyukur karena aku yakin asal aku tak berhenti melangkah dan berharap, aku pasti akan menemukan jalan keluar yang terbaik

Kita belajar betapa berarti sesuatu atau seseorang di sisi kita adalah saat kita kehilangan mereka.
Kita belajar untuk ikhlas dan percaya adalah saat kita kehilangan
Kita belajar untuk menjaga dan memelihara segala sesuatu adalah saat kita tahu segala sesuatu ada waktunya (termasuk waktu perpisahan atau kehilangan).

Dari hal kehilangan kita belajar untuk tidak menggantungkan hidup pada sesuatu hal yang fana atau yang terbatas.
Baca Selengkapnya - Jika kukehilangan…ku tetap bersyukur